Pertanyaan :
Assalamualaikum. Ana ingin bertanya. Bagaimana hukum jual beli uang kuno? Semisal terjadi transaksi pembelian uang kuno Rp. 1, dihargai Rp. 15.000, . Apakah ini dikategorikan sebagai riba?? Karena belakangan ini banyak mahar yang menggunakan angka satuan rupiah (semisal 14rupiah). Mohon penjelasannya.
Jazakallah khoiron katsir
Dari: Muttaqin
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, diantara aturan tukar menukar uang yang sama adalah harus dilakukan secara tunai dengan nilai nominal yang sama. Misalnya, Rp 20.000 ditukar dengan pecahan Rp 5.000. Proses tukar harus dilakukan tunai, dengan nilai nominal yang sama. Rp 20.000 satu lembar, ditukar dengan Rp 5.000 sebanyak empat lembar. Jika hanya diserahkan Rp 5.000 sebanyak 3 lembar, dan yang satu lembar menyusul, hukumnya dilarang, karena termasuk transaksi riba.
Berbeda jika rupiah ditukar dengan mata uang asing. Misal, dengan dollar. Proses tukar menukar harus tunai, meskipun nilai nominalnya beda. Misal, $1 ditukar dengan Rp 10.000. Ini boleh, yang penting tunai.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Emas ditukar dengan emas adalah riba, kecuali tunai di majlis akad. (HR. Bukhari 2134)
Kemudian dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الوَرِقَ بِالوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali beratnya sama. Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali beratnya sama. Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Dan janganlah menukar emas-perak yang satu tunai sementara yang satu terhutang. (HR. Bukhari 2177).
Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan aturan tukar menukar emas dan perak. Bahwa jika emas ditukar dengan emas, atau perak ditukar dengan perak maka beratnya harus sama dan tunai. Sementara untuk pertukaran yang berbeda, misalnya emas dengan perak, boleh ada selisih berat, namun tetap harus dilakukan secara tunai.
Emas dan perak merupakan mata uang di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Karena itu, para ulama menegaskan bahwa aturan transaksi tukar menukar uang kartal, mengikuti aturan transaksi tukar menukar emas dan perak.
Kedua, apa illah (alasan yang melatar belakangi) dilarangnya tukar menukar emas atau perak yang tidak sama beratnya atau tidak dilakukan secara tunai?
Ulama berbeda pendapat tentang illah larangan ini. Ada 3 pendapat besar dalam kasus ini,
1. Illahnya adalah al-wazn (timbangan). Artinya, emas dan perak dilarang untuk ditukar kecuali dengan aturan khusus, karena kedua benda ini ditimbang. Ini merupakan pendapat an-Nakhai, az-Zuhri, ats-Tsauri, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Namun ini pendapat yang tidak kuat. Karena jika illahnya adalah karena emas dan perak itu adalah karena timbangan, tentu aturan di atas berlaku untuk semua benda yang ditimbang lainnya, seperti tembaga, bahan makanan, minyak, dst. Padahal ulama sepakat bahwa jual beli semacam ini boleh dilakukan secara kredit.
2. Illahnya adalah ghalabah tsamaniyah (yang umumnya dijadikan mata uang). Artinya, aturan tukar menukar yang rumit itu, hanya berlaku untuk benda yang umumnya dijadikan sebagai mata uang. Dan umumnya adalah emas atau perak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Imam Malik dan Imam as-Syafii.
Namun pendapat ini juga tidak benar, karena dengan menyatakan bahwa illahnya adalah ghalabah tsamaniyah, ini akan sangat membatasi berlakunya aturan tersebut. Karena illah yang tidak bisa dikembangkan untuk kasus yang lain, tidak bisa untuk dijadikanillah. Disamping hikmah larangan adanya riba dalam tukar menukar mata uang, bukan hanya khusus untuk emas dan perak saja.
3. Illahnya adalah muthlaq tsamaniyah (semua benda yang dijadikan mata uang). Artinya, aturan tukar menukar yang rumit itu, berlaku untuk semua benda yang dijadikan sebagai mata uang. Meskipun berupa kertas atau logam lainnya. Ini dalah satu pendapat Imam Abu Hanifah, Imam malik, dan Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim.
Pendapat ketiga inilah yang lebih mendekati kebenaran, karena illah ini mencakup seluruh mata uang, yang itu merupakan sasaran terjadinya riba.
Sumber: Fatwa Lajnah Daimah http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=17&PageNo=1&BookID=1
Ketiga, setelah kita menyimpulkan bahwa illah aturan yang rumit untuk emas adalah karena statusnya sebagai mata uang, maka semua benda yang berstatus sebagai mata uang, berlaku aturan itu. Sebaliknya, benda yang dulunya mata uang, namun saat ini tidak lagi diberlakukan dan menjadi uang antik, tidak berlaku aturan di atas.
Berdasarkan keterangan di atas, mata uang kuno, yang tidak lagi menjadi alat tukar dan masyarakatpun tidak lagi menerimanya, boleh diperjual belikan meskipun dengan nilai yang lebih besar. Misal, uang kuno Rp 1, dijual dengan harga 10 ribu.
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum jual beli uang kuno.
Jawaban beliau,
ليس فيه بأس ؛ لأن العملة القديمة أصبحت غير نقد ، فإذا كان مثلاً عنده من فئة الريال الأولى الحمراء أو من فئة خمسة أو عشرة التي بطل التعامل بها وأراد أن يبيع ذات العشرة بمائة فلا حرج ؛ لكونها أصبحت سلعة ليست بنقد ، فلا حرج
Tidak masalah. Karena mata uang kuno, sudah bukan lagi alat tukar. Misalnya ada orang yang memiliki beberapa lembar mata uang real dulu, yang warnanya merah, atau uang 5 atau 10 real yang tidak lagi diberlakukan untuk alat tukar, kemudian dia hendak menjual 10 real itu dengan 100 real, hukumnya boleh. Karena uang kuno semacam ini sudah menjadi barang dagangan, dan bukan mata uang, sehingga tidak masalah. (Liqa’at Bab Maftuh, 233/19).
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial